PULMONAL HIPERTENSI
DEFINISI
Pulmonary Hypertension
(PH)/ Hipertensi Pulmonal adalah kondisi hemodinamik dan pathofisiologis yang
didefinisikan sebagai peningkatan pada mean Pulmonary
Arterial Pressure (PAP) ≥ 25 mmHg yang dikaji pada saat istirahat dari
hasil kateterisasi jantung kanan. Definisi PH saat exercise adalah apabila mean PAP ≥ 30 mmHg yang didapatkan dari
hasil pengkajian kateterisasi jantung kanan. PH dapat ditemukan dari berbagai
masalah klinis.(European Heart Journal, 2009)
PH,
menurut Jacques I. Benisty dalam Journal AHA, adalah kenaikan tekanan di
pembuluh darah pulmonal yang abnormal. Dapat juga dikatakan tekanan darah
tinggi di paru, yang secara normal tekanan di pembuluh darah pulmonal sekitar
seperempat dari tekanan darah sistemik dan kadang-kadang meningkat untuk
beradaptasi saat beraktifitas.
Definisi
PH secara hemodinamik dibagi tiga, yaitu:
1.
PH yaitu dengan karakteristik mean PAP ≥
25 mmHg yang ditemukan pada seluruh kelompok klinis
2.
Pre-capillary
PH yaitu dengan karakteristik mean PAP ≥ 25 mmHg, Pulmonary wedge pressure (PWP) ≤ 15 mmHg, dengan Cardiac Output (CO) normal atau menurun,
tipe ini ditemukan pada pulmonary arterial hypertension (PAH), PH yang
disebabkan oleh penyakit paru, PH tromboembolik kronis, PH dengan mekanisme
multifaktorial yang jelas maupun yang belum jelas.
3.
Post-capillary
PH yaitu dengan karakteristik mean PAP ≥ 25 mmHg, PWP > 15 mmHg, CO normal
atau menurun, Transpulmonary Pressure Gradien (TPG) ≤ 12 mmHg pada
yang pasif dan TPG > 12 mmHg pada yang reaktif. (European Heart Journal,
2009)
Menurut
Myung K.Park, pada kondisi normal saat dilakukan pengukuran langsung di ruang
kateterisasi jantung, didapatkan tekanan PA sistolik pada dewasa dan anak
≤30mmHg dan Mean PAP ≤25mmHg pada batas permukaan laut. Diagnosa PH dapat
dinyatakan apabila PAP ≥25mmHg pada batas permukaan laut pada pasien saat istirahat. Tekanan PA
lebih tinggi pada setiap peningkatan level ketinggian.
Pada
metode noninvasive seperti dopler, dapat juga mengestimasi tekanan PA. Metode
yang digunakan adalah dengan pengukuran tricuspid
regurgitasi jet velocity dan
pengukuran modifikasi Bernauli, dengan asumsi tekanan RA 10mmHg, Tekanan mean
PA sistolik ditemukan 28.3 ± 4.9 mmHg (range 15 – 57 mmHg) pada dewasa dan
infant dilaporkan temuan nilai yang lebih tinggi menggunakan metode invasive
(McQuillan et al, 2001). Dengan dopler, estimasi tekanan PA sistolik dengan
nilai 36 – 40 mm Hg diasumsikan sebagai PA hipertensi mild
FISIOLOGI
Fisiologi
dasar sirkulasi pulmonal dan respon vascular pulmonal:
1. Pulmonary Vascular Resistance
(PVR) merupakan fungsi dari jumlah, panjang dan diameter dari pembuluh darah
pulmonal. PVR meningkat dengan adanya stenosis arteri pulmonal dan hipoplastik
paru. Faktor penentu lain dari PVR adalah viskositas darah, masa total dari
paru, stenosis pembuluh darah dan kompresi ekstramural dari pembuluh darah. PVR
normal adalah 1 Wood unit (atau 67 ± 23 [SD] dyne-sec/cm), merupakan 1/10 dari
nilai SVR.
PVR = (MPAP – PCWP)/CO
MPAP = Mean Pulmonal Artery Pressure, CO = Cardiac Output
PCWP
= the Pulmonary Capillary Wedge Pressure
2. Sintesa
sel endotel dan jaringan paru dan atau aktivasi hormone vasoaktif dan inaktivasi
factor lain. Keseimbangan dari substansi vasoaktif membantu menyeimbangkan
normal vascular tone. Pada kondisi normal, keseimbangan dari Nitric oxide (NO)
sebagai vasodilator dan endothelin sebagai vasokontriktor oleh sel endothelin
sebagai factor kunci dari regulasi vascular pulmonal.
a. Endothelin-1
(ET1), isoform dominan dari endotelin yang merupakan vasokontriktor
kuat.
b. Nitric
oxide (NO), yang disintesa pada vascular endothelium merupakan vasodilator.
c. Prostaglandin
(PGs) yang disintesa, dimetabolis dan dikeluarkan oleh jaringan paru. PGI2
dan PGE1 merupakan vasodilator sedangkan PGF2α dan PGA2
merupakan vasokontriktor.
d. Serotonin
adalah vasokontriktor yang merangsang hipertropi sel otot polos. Serotonin
menstimulasi pelepasan NO pada sel endothelial normal tetapi serotonin tidak
dapat menstimulasi pelepasan NO apabila terjadi disfungsi sel endothelial.
3. Pada
kondisi tertentu perubahan PVR dapat dikarenakan:
a. Hipoxia
yang disebabkan oleh vasokontriksi, produksi NO menurun dan produksi endotelin
meningkat. Endotelin reseptor antagonis
mengurangi hypoxic vasokontriksi pulmonal. Tekanan oksigen alveolar adalah
penentu fisiologis mayor dari pulmonary arteriolar tone.
b. Asidosis
secara signifikan meningkatkan PVR, bekerja secara sinergis dengan hypoxia.
c. Adrenoreseptor
α dan β menyebabkan vasokontriksi dan vasodilatasi. Α-Adrenergic blocker
(seperti phentolamine, tolazoline) menurunkan PVR.
d.
Daerah dataran tinggi (high altitude)
dengan tekanan oksigen alveolar yang rendah berhubungan dengan vasokontriksi pulmonal
dengan berbagai tingkatan. Terdapat variasi spesies dan individual yang besar
pada reaktifitas dari arteri pulmonal dengan tekanan oksigen alveolar yang
rendah.
KLASIFIKASI KLINIK HIPERTENSI PULMONAL
Klasifikasi Klinis Hipertensi Pulmonal (Dana Point, 2008)
1. Hipertensi Arteri Pulmonal (PAH)
a. Idiopatik
b.
Heritable
1)
BMPR2
2)
ALK1, endoglin (dengan atau tanpa telangiectasia
haemoragic herediter)
3) Tidak diketahui
c. Terpapar Obat dan Toxin
d. Berhubungan dengan (APAH)
1) Penyakit jaringan ikat
2) Infeksi HIV
3) Hipertensi portal
4) Penyakit jantung bawaan
5) Schistosomiosis
6) Anemia haemolitic kronik
e.
Persistent pulmonary hipertension of the
newborn (PPHN)
1’.Penyakit
oklusi vena pulmonal dan/atau Hemagiomatosis kapiler pulmonal
2. Hipertensi Pulmonal yang berhubungan dengan
penyakit jantung kiri
a.
Disfungsi
sistolik
b. Disfungsi diastolic
c.
Penyakit Katup
3. Hipertensi pulmonal berhubungan dengan penyakit
respirasi paru dan/ atau hipoksia
a.
Penyakit paru
obstruksi kronis
b.
Penyakit paru
intertisial
c.
Kelainan pernafasan saat tidur
d.
Kelainan hipoventilasi alveolar
e.
Pemaparan altitude tinggi yang kronis
f.
Kelainan tumbuh kembang
4. Hipertensi pulmonal akibat penyakit
thromboemboli kronik (CTEPH)
5. PH dengan mekanisme
yang belum jelas dan/ataumekanisme multifokal
a. Gangguan
hematologi ; gangguan myeloproliferative, splenectomy
b. Gangguan
sistemik; sarcoidosis, pulmonary Langerhans Cell histiocytosis, vasculitis
c. Gangguan
metabolik; penyakit glicogen storage, penyakit Gaucher, Gangguan tiroid
d. Lain-lain:
obstruksi tumoural, fibrosing mediastinitis, CKD dalam terapi dialisa
Klasifikasi
klinis ini merupakan hasil konsensus World Symposium yang ke empat tahun 2008
yang bertempat di Dana Point, California. Pada setiap grup memiliki
karakteristik klinis dan anatomi- patofisiologi yang sama pada masing-masing
grup. Pada grup 1 patofiologinya sama-sama dapat membentuk lesi plexiform. Pada
grup 1’ memiliki karakteristik yang sama dengan IPAH tetapi juga terdapat
perbedaan yang terlihat. Oleh sebab itu dibuat kategori terpisah tetapi tidak
seluruhnya terpisah.
PATOGENESIS
Terjadinya
PH dapat disebabkan adanya kerentanan individu yang dipengaruhi oleh factor
resiko dan factor pencetus. Proses patologis yang progresif meningkatkan
terjadinya vasokontriksi, proliferasi sel dan vascular remodeling yang progresif.
Mediator-mediator
dalam sel pembuluh darah sangat mempengaruhi setiap komponen dari dinding
arteri (intima, media, adventitia). Kerusakan pembuluh darah diperburuk dengan
disfungsi endothelial otot polos. Hyperplasia dan perubahan matrix yang disebabkan
patologis multifactor yang kompleks
Vasokontriksi
dan hipertropi medial terjadi pada awal proses remodeling vascular dan mungkin
dapat dikarenakan injuri sel endotelial. Injuri menyebabkan peningkatan
pelepasan agen vasokontriktor kuat yaitu endothelin 1, tromboxan A2, dan
supresi dari vasodilator kuat seperti prostacyclin dan NO. Disfungsi endothelial berkaitan dengan
gangguan kronik dari sintesa NO dan sintesa prostasiklin dan juga pelepasan
yang berlebihan dari endotelin 1 (ET1). ET1 berhubungan dengan efek merusak
pada vascular pulmonal yang akut dan kronis. Efek akut meliputi vasokontriksi
dan inflamasi, sedangkan efek kronis meliputi fibrosis, sekresi neurohormonal
dan proliferasi selular. Vasokontriksi akut yang mengarah ke kronis berhubungan
dengan disfungsi chanel Ca2+-sensitive K+ di
sel otot polos dan disfungsi endotelin. Hipoksia pada PAH menurunkan regulasi
chanel K+ pada sel otot polos yang menyebabkan pelepasan Ca2+
dan menyebabkan vasokontriksi. Lesi flexiform terjadi berhubungan dengan
munculnya immunologi VEGF, pada saat terjadinya proses vasoproliferasi
berhubungan dengan gangguan angiogenesis. Pengeluaran yang berlebihan
transporter serotonin berhubungan dengan lapisan medial pada hipertropi otot
polos dinding arteri pada pasien PAH.
Dari
semua mediator, ET1 mempunyai peranan yang sangat besar dan signifikan pada
patogonesis PAH. ET1 adalah peptida asam amino endogen 21 yang dikeluarkan oleh
endotelin yang menyebabkan efek vasokontriksi kuat, mitogenik dan profibrotik.
ET1 terbentuk saat endotelin-cinverting enzim (ECE) memecahkan ET1. Terdapat
dua resptor ET1 yang menyebabkan proliferasi sel pada PAH, yaitu Eta dan ETb.
Reseptor Eta menyebabkan vasokontriksi dan proliferasi sel pada otot polos
pembuluh darah dan fibroblast. Seperti Eta, ETb ditemukan pada sel otot polos
pembuluh darah dan fibroblast dan juga ditemukan pada sel endothelial, macrofag
dan system saaraf simpatis. Pada kondisi normal, reseptor ETb menyebabkan
vasodilatasi. Pada kondisi sakit, regulasi ETb menurun pada endotelin untuk
menyokong vasokontriksi dan regulasinya meningkat pada otot polos vaskuler
untuk mempertahankan kondisi proliferative. Menurunnya regulasi chanel Ca2+-sensitive
K+ berperan pada prolifesai sel. Pada dasarnya reseptor ETb
bertanggung jawab pada hamper 50% sirkulasi ET1 selama perfusi pulmonal.
Peningkatan level ET1 berhubungan dengan keparahan dan prognosis penyakit.
ET1
berhubungan dengan hyperplasia dan remodeling vascular seperti yang terlihat
pada lesi flexiform pada PAH. Struktur remodeling spesifik pada vascular yang
dimanifestasikan dengan perubahan sel intima dan in situ thrombosis yang akhirnya menjadi lesi
flexiform. Karakteristik dari penebalan intima adalah nuclei yang berbentuk
oral dan cytoplasma yang berlebihan dengan elastin yang jarang. Karakteristik
lain dari remodeling vascular adalah ditemukannya macrofag, fibrosis intima,
proliferasi sel endothelial dan sel otot polos yang imatur. Prostacyclin adalah
vasodilator endogen kuat yang diaktivasi melalui rantai cAMP-dependen. prostacyclin
juga menghambat efek agregasi platelet, proliferasi otot polos dan inflamasi.
Sintesa prostacyclin menurun pada sel endothelial pasien PAH. Vasodilator
endothelial dihambat oleh penurunan sintesa NO. NO merupakan vasodilator kuat
otot polos dan properti antiproliferasi yang diaktifkan oleh cyclic guanosine monophosphate
phosphodiesterase-type 5 pathway (rantai cGMP).
PATOFISIOLOGI
Tekanan
(P) dipengaruhi oleh aliran (F) dan resistensi vascular (R)
P = F x R
Peningkatan
dari aliran dan resistensi vascular atau peningkatan salah satunya dapat
menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal. Dengan demikian, PH berhubungan
dengan kontriksi dari arteriole pulmonal yang menyebabkan peningkatan PVR dan
terjadinya hypertropi RV.
Pada
kondisi normal RV yang tipis tidak dapat mengatasi peningkatan tekanan yang
mendadak diatas 40 – 50 mm Hg. Akut right heart failure dapat terjadi karena
kondisi dimana PVR meningkat secara tajam. Apabila PH berkembang secara
perlahan, RV hipertropi dapat mentoleransi PH mild (dengan tekanan sistolik
sekitar 50 mmHg) tanpa menimbulkan masalah klinis. Apabila ada kondisi penyakit
paru yang hebat yang menjadi beban, hipoksia alveolar atau asidosis dapat
menyebabkan hipertropi mild RV, dan apabila terjadi peningkatan tekanan pulmonal
mendekati atau lebih besar dari tekanan sistemik maka akan terjadi kegagalan RV
(Right Heart Failure/ RHF).
PENEGAKAN DIAGNOSA
a. Presentasi Klinis
Gejala PH
tidak spesifik, meliputi sesak napas, cepat lelah, kelemahan, nyeri dada, sinkope
dan distensi abdomen. Gejala saat istirahat hanya terjadi pada kondisi yang
lebih lanjut. Pada pemeriksaan fisik bunyi jantung II komponen pulmoner
yang mengeras, adanya bising jantung pansistolik di daerah parasternal kiri
bagian bawah (regurgitasi trikuspid), bising diastolik dari insufisiensi
pulmoner dan bunyi jantung III dari ventrikel kanan. Pada pasien dengan gagal
jantung kanan berat dapat ditemukan distensi vena jugularis, hepatomegali,
ascites, edema perifer dan ekstremitas yang dingin.
a. Pemeriksaan Penunjang
1.
Elektrokardiogram
Temuan
elektrokardiogram yang mendukung adanya PH adalah deviasi aksis QRS ke kanan,
hipertrofi ventrikel kanan disertai strain dan dilatasi atrium kanan.
1.
Foto Toraks
Foto toraks
menunjukan adanya dilatasi arteri pulmoner disertai dengan menghilangnya
corakan perifer (pruning) dan pada tahap lanjut dapat terlihat
pembesaran atrium dan ventrikel kanan. Dilain pihak foto toraks dapat
menentukan penyebab PAH bila ditemukan adanya emfisema, fibrosis atau
abnormalitas rongga toraks.
2. Ekokardiogram
Pemeriksaan ekokardiogram dapat mengkonfirmasi
Hipertensi Pulmoner dan etiologinya (Penyakit jantung bawaan, Penyakit jantung
katup dan penyakit jantung koroner). Parameter yang harus dinilai pada
pemeriksaan ekokardiogram adalah dimensi atrium kanan dan ventrikel kanan,
tekanan sistolik ventrikel kanan, fungsi ventrikel kanan dan kiri, tekanan
arteri pulmoner, penyakit jantung kiri dan efusi perikard.
3.
Test Fungsi Paru & Analisa Gas darah
Tes fungsi paru dan
analisa gas darah dapat membedakan PAH akibat gangguan saluran nafas atau
kelainan parenkim paru. Pasien dengan PAH mempunyai kapasitas difusi dari CO2
(DLco2) yang menurun dan volume paru juga menurun. PaO2 normal atau sedikit
rendah disertai CO2 yang rendah akibat hiperventilasi.
4.
CT Scan Arteri Pulmonal
CT scan angio arteri pulmonal
diperlukan untuk pasien penyakit parenkim paru, penyakit veno oklusi dan
limfadenopati dan hipertensi pulmonal dengan tromboemboli kronik untuk
menentukan indikasi endoarterektomi.
Gambaran CT scan angio CTEPH adalah obstruksi
arteri pulmonal, filling defek eksentrik konsisten dengan thrombus,
rekanalisasi, dan stenosis.
5.
Scanning
V/Q Paru
Normal
atau defek kecil di perifer non segmental pada IPAH
Perfusi lobaris
dan regio segmental paru terganggu pada CTEPH
6.
Skrining
trombofilia dan Penyakit Autoimun
Skrining thrombofilia harus dilakukan
termasuk pemeriksaan antibodi anti-fosfolipid (antikoagulan lupus dan antibodi
anti-kardiolipin)
Antinuclear antibodys (ANA)
7.
Kateter Jantung Kanan
Diperlukan untuk
konfirmasi PH, profil hemodinamik dan uji vasoreaktif akut
Parameter yang
dinilai:
a. tekanan
atrium kanan (RAP)
b. tekanan
arteri pulmonal s/m/d (PAP)
c. tekanan
baji kapiler paru (PCWP)
d. CO/CI
e. resistensi
vaskular pulmonal (PVR)
f. resistensi vaskular sistemik (SVR)
g. Tekanan
arteri sistemik
h. Saturasi O2 (
arteri dan Mixed vein)
EVALUASI TINGKAT KEPARAHAN
Hasil dari simposium di Dana
Paint, 2008, berdasarkan data klinis, temuan dari pemeriksaan invasive dan
non-invasive, kondisi klinis pasien dapat dibagi atas stabil dan memuaskan,
stabil tapi tidak memuaskan dan tidak stabil dan perburukan.
a.
Stabil dan memuaskan
Kondisi pasien ini mayoritas
memenuhi sarat dari prognosis yang baik dari tabel tingkat keparahan PH
b.
Stabil tetapi tidak memuaskan
Walaupun kondisi klinis pasien
ini stabil namun nilai dari kondisi prognosis baik pada tabel keparahan PH
tidak terpenuhi. Pada pasien ini perlu
reevaluasi untuk perubahan treatmen dengan pengkajian lengkap.
c.
Tidak stabil dan perburukan
Pasien ini memenuhi semua
sarat pada prognosis yang buruk dari tabel keparahan PH. Biasanya sudah terjadi low output heart
failure dan memerlukan tindakan yang cepat.
Klasifikasi Status Fungsional
PH (NYHA/WHO )
KELAS
|
DESKRIPSI
|
I
II
III
IV
|
Pasien dengan
hipertensi pulmonal tanpa adanya keterbatasan aktivitas fisik normal.
Aktivitas sehari-hari normal tidak mengakibatkan sesak nafas, lelah, nyeri
dada atau pre-sinkope
Pasien dengan
hipertensi pulmonal dengan keterbatasan aktivitas berat. Tidak ada keluhan saat istirahat maupun aktivitas sehari-hari normal.
Namun pada aktivitas berat mengakibatkan sesak nafas, lelah, nyeri dada atau
pre-sinkope
Pasien dengan
hipertensi pulmonal dengan keterbatasan aktivitas ringan. Tidak ada keluhan
saat istirahat, namun aktivitas sehari-hari normal sudah mengakibatkan
peningkatan sesak, lelah, nyeri dada atau pre-sinkope
Pasien dengan
hipertensi pulmonal yang tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun dan
memperlihatkan adanya tanda gagal jantung kanan saat istirahat. Keluhan sesak
nafas dan/atau lelah dirasakan saat istirahat dan bertambah berat dengan
aktivitas fisik
|
2.1.8.
PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PULMONAL
Penatalaksanaan
pada pasien PH tidak hanya sebatas obat-obatan yang diresepkan tetapai
merupakan strategi yang komplek yang mencakup evaluasi dari keparahan,
tatalaksana umum, dan suportif, pengkajian vasoreaktivitas, estimasi dari
efektivitas terapi dan kombinasi dari obat-obatan dan intervensi.
1.
Penatalaksanaan Umum
- Aktifitas Fisik
Semua kegiatan yang dapat menyebabkan sesak, pingsan dan
nyeri dada harus dihindari, demikian juga aktifitas fisik setelah makan maupun
dalam suhu yang ekstrim.
- Bepergiaan
Disarankan untuk menghindari
hipoksia hipobarik ringan yang terjadi pada ketinggian antara 1500 m dan 2000 m
diatas permukaan laut. Jika bepergian dengan
menggunakan pesawat terbang komersial, biasanya dengan tekanan setara dengan
ketinggian 1600 dan 2500 m, sehingga diperlukan suplemen oksigen.
- Pencegahan Infeksi
Penderita dengan PAH sangat mudah untuk terjadinya infeksi
pneumonia yang menyumbangkan angka kematian 7%. Bila terjadi pneumonia
sebaiknya dirawat untuk terapi yang agresif. Pemberian vaksin sangat disarankan
untuk influenza dan pneumokokus pneumonia.
- Kehamilan, persalinan kelahiran, dan
kontrasepsi
Kehamilan dan persalinan meningkatkan angka kesakitan dan
kematian. Konsesus AHA dan ACC kehamilan sebaiknya dihindarkan atau diakhiri
pada wanita dengan kelainan jantung bawaan sianosis, hipertensi pulmonal dan
sindroma eisenmenger, dengan angka kematian ibu 30 – 50 %. Belum ada
kesepakatan dari para pakar, metode apa yang cocok untuk mengontrol kehamilan
pada kasus seperti ini.
- Kadar haemoglobin
Penderita dengan PAH dengan hipoksia yang lama
menyebabkan meningkatan kadar eritrosit dan peningkatan kadar hematokrit.
Plebotomi diindikasikan pada kasus dengan kadar
hematokrit lebih dari 65 yang disertai keluhan seperti sakit kepala dan
lain-lain.
- Bedah elektif
Pada pasien dengan PAH risiko akan meningkatkan bila
dilakukan bedah elektif pada kasus bedah thoraks dan abdomen, semakin meningkat
seiring dengan beratnya fungsional klas dari NYHA. Belum jelas metode anestesi
yang aman digunakan pada penderita PAH, tetapi anestesi epidural mungkin lebih
aman dibandingkan dengan anestesi umum.
- Psikologis
Depresi dan kecemasan dapat mempengaruhi kualitas hidup.
Informasi tentang penyakit PAH ini sangat diperlukan oleh
penderita, juga support dari rekan-rekan sesama penderita maupun keluarga
2.
Terapi
Suportif
- Terapi Koagulan Oral
Pada
pasien dengan IPAH banyak ditemukan lesi vascular trombotikdan juga dilaporkan
adanya abnormalitas pada fungsi koagulasi dan alur fibrinolotik. Berdasarkan
studi restrospektif dan pengalaman, antikoagulan biasanya diberikan untuk
pasien dengan IPAH, Heritable PAH, dan PAH dengan masalah anorexigen
- Diuretik
Pada
pasien dengan dekompensasi RHF yang berhubungan dengan retensi cairan,
peningkatan CVP, kongesti hepatic, asites dan edema perifer diperlukan terapi
diuretic. Namun sangat penting untuk memonitor fungsi renal dan biokimia darah,
untuk menghindari hipokalemi dan efek dari penurunan cairan intravascular yang
dapat menyebabkan pre-renal failure.
- Digoksin
Digoksin
dapat meningkatkan cardiac output pada pasien IPAH akut, diberikan untuk
menurunkan ventricular rate pada pasien PAH dengan masalah atrial tachiaritmia.
3.
Terapi
Spesifik
- Kalsium
Chanel Bloker
Kalsium
chanel bloker merupakan vasodilator tradisional sejak pertengahan tahun1980an.
Dari hasi studi dilaporkan kalsium chanel bloker yang biasa diberikan adalah
nifedipin, diltiazem dan amlodipin
- Prostanoid
(prostacyclin)
Prostacyclin
diproduksi di sel endothelial yang merupakan vasodilator kuat pada seluruh
dinding vaskular, dan prostacyclin juga
menghambat aktivitas platelet dan menunjukan aktivitas cytoprotektif dan
antiproliferasi. Obat-obatan yang termasuk prostacyclin adalah Epoprostenol,
Ilopros, Treprostinil, Beroprost.
- Endothelin
Reseptor Antagonis
Aktivasi
endothelin-1 menyebabkan efek vasokontriksi dan mitogenik dengan mengikat dua
reseptor pada sel otot polos , yaitu reseptor endotelin–A dan endotelin-B.
reseptor Endotelin-B ada di sel endothelial dan aktivasinya menyebabkan
pelepasan substansi vasodilator dan antiproliferasi seperti NO dan prostacyclin
yang menyeimbangkan efek vasokintriktor dari endotelin-1. Terapi yang termasuk
endotelin reseptor antagonis adalah Bosentan, Sitaxentan, Ambrisentan.
- Phospodiesterase
type 5 Inhibitor
Penghambatan
dari cGMP-degrading enzyme phosphodiesterase type-5 menyebabkan penghambatan
pemecahan cGMP yang ada di otot polos pembuluh darah dan , menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah. Terapi yang termasuk PDE S inhibitor adalah
sildenafil dan tadalafil
4. Penatalaksanaan Aritmia
Aritmia sering terjadi pada pasien PH. Pada pasien dengan
penyakit jantung kiri biasanya trerjadi VT, VF. Sedangkan pada pasien PAH biasanya terjadi Atrial fluter dan atrial
fibrilasi dan juga merupakan tanda terjadinya right heart failure.
5. BAS
Pasien dengan sindroma Eisenmenger
dan pasien IPAH dengan paten foramen ovale lebih dapat bertahan dari pada
pasien yang tanpa foramen ovale. Dari konsep tersebut atrial septostomi
merupakan salah satu treatmen untuk IPAH. Namun dampak dari BAS tidak baik
untuk jangka panjang, oleh sebab itu BAS hanya dilakukan sebagai briging sebelum dilakukan tindakan
lanjutan seperti transplantasi paru.
6. Transplantasi
Transplantasi
adalah terapi spesifik lanjutan bagi pasien PH. Pasien dengan profil prognosis
yang buruk dengan maksimal medikal terapi dapat dilakukan transplantasi paru.
Bahkan ntransplantasi jantung dan paru pernah dilakukan pada pasien PH.
2.2. PULMONAL HIPERTENSI AKIBAT ATRIAL SEPTAL DEFEK
2.2.1. Atrial Septal Defek (ASD)
Atrial
Septal Defek (ASD) adalah salah satu kelainan jantung, pada kelainan ini
terjadi hubungan antara atrium kanan dengan atrium kiri melalui sebuah celah
abnormal di sekat yang memisahkan kedua atrium. Pembentukan ASD merupakan
proses yang kompleks, terjadi saat pertumbuhan dan reabsorpsi parsial dari dua
membrane jaringan, septum primum dan septum sekundum; penggabungan dari kedua
membran ini membentuk bantalan endokardial, dan reabsorpsi dari fetal sinus
venosus akan membentuk struktur yang menjadi atrium kanan, kesalahan dalam
proses pembentukan ini akan menyebabkan defek pada dinding yang memisahkan
atrium kanan dan atrium kiri. Ada tiga tipe ASD, yaitu\
1. ASD
ostium primum, disebabkan karena defisiensi jaringan bantalan endokardial.
2. ASD
ostium sekundum, disebabkan karena reabsorpsi yang berlebihan dari septum
primum.
3. ASD
sinus venosus, disebabkan karena kesalahan dari penggabungan ruang sinun
venosus menjadi atrium kanan.
2.2.2.
Pathofisiologi
Patofisiologi
pada ASD kompleks dan multifaktorial. Pada kebanyakan pasien alirannya dominan
dari kiri ke kanan, tetapi kadang-kadang terjadi dari kanan ke kiri. Bagian terbesar dari
shunt terjadi selama diastole. Shunt adalah koneksi yang abnormal yang
menyebabkan darah mengalir langsung dari satu sisi sirkulasi jantung ke
sirkulasi yang lain. Shunting dari kiri ke kanan, menyebabkan porsi dari venous
return pulmonal kembali lagi ke paru, yaitu darah dari atrium kiri yang kaya
akan oksigen ke atrium kanan yang belum teroksigenasi, hal ini menyebabkan
saturasi oksigen di atrium kiri meningkat (step-up) dan ini juga menyebabkan
menurunan cardiac output sesuai dengan jumlah dari volume shunt, yang akan
menyebabkan Deliveri Oksigen (DO2) ke jaringan menurun.
Sedangkan
shunting dari kanan ke kiri, menyebabkan darah yang belum teroksigenasi dari
vena sistemik langsung masuk ke atrium kiri dan menyebabkan saturasi oksigen di
atrium kiri menurun (step-down), dan darah ini ikut di pompakan keseluruh tubuh
melalui sirkulasi arteri. Sehingga Oksigen content (CaO2) pada
arteri sistemik menurun karena adanya pencampuran dengan darah yang sudah
teroksigenasi dengan darah yang belum teroksigenasi. Dengan penurunan oksigen
content, walaupun Cardiac output normal, maka deliveri oksigen menurun dan
kapasitas kerja dari otot terbatas.
Rasio
dari aliran darah pulmonal dan aliran darah sistemik (ratio Qp/Qs), adalah alat
yang penting dalam menghitung besar shunting. Rasio Qp/Qs 1:1 adalah normal, biasanya
mengindikasikan bahwa tidak ada shunting. Ratio Qp/Qs >1:1 mengindikasikan
bahwa aliran pulmonal lebih besar dari sistemik, ini menggambarkan adanya
shunting dari kiri ke kanan. Sedangkan rasio Qp/Qs <1:1 menggambarkan adanya
shunting dari kanan ke kiri. Dan bila terjadi bidirectional shunt atau dari
kiri ke kanan dan kanan ke kiri pada pasien yang sama, maka memungkinkan hasil
Qp/Qs 1:1.
PH
pada ASD cukup jarang, walaupun dengan defek yang besar, hal ini karena
kapasitas yang besar dari pulmonal. Dari hasil observasi, penyakit vascular
pulmonal berkembang pada pasien dengan ASD yang kecil, dan tidak terjadi pada
mayoritas pasien ASD yang besar.
Ketika
PH severe terjadi maka akan terjadi RV sistolik failure, RV end-sistolik volume
(RVESV) meningkat. Pada pasien dengan ASD, terjadi sistemik venous stasis dan
terjadi tanda dari gagal jantung kanan seperti anasarka dan low cardiac output,
karena LV hanya memompakan darah yang datang dari paru. Pada pasien PH pada
ASD, defek menyebabkan adanya darah yang masuk dari atrium kanan ke atrium
kiri. Darah yang menuju RV didapat dari pulmonal dan RA untuk menambah preload.
Pada pasien ini akan terlihat sianosis dan menunjukan respon yang minimal
terhadap pemberian oksigen. Tetapi, biasanya deliveri oksigen jaringan lebih
baik pada pasien PH dengan ASD dari pada tanpa ASD. Oleh sebab itu, Pasien
dewasa dengan ASD moderate atau severe biasanya dengan menutup ASD nya tidak
terlihat peningkatan keberhasilan keselamatan hidup. Sama halnya pada pasien
stage akhir primary PH dibuat ASD, yang telah memperlihatkan hasil dan
keuntungan dengan memperpanjang jangka waktu hidup dan sebagai penyambung
sebelum dilakukan transplanstasi paru. (Sommer, Hijazi, Rhodes, 2008)
PH
pada penyakit jantung bawaan mempunyai prognosis yang baik apabila resistensi
pulmonal masih reversible. Penatalaksanaannya adalah dengan dilakukan penutupan
pirau jantung. Penutupan pirau
dapat dilakukan dengan cara pembedahan dan pemasangan ASO. Menurut dr
Indriwanto,Sp.Jp (2010) untuk mengetahui apakah resistensi pulmonal masih
reversibel salah satunya adalah dengan dilakukan penutupan pirau dengan balon
kateter lalu dilakukan pengukuran hemodinamik. Resistensi pulmonal masih
reversibel apabila terdapat respon positif penurunan PAP ≥25% dari nilai semula
selama penutupan, tanpa adanya penurunan tekanan sistemik atau peningkatan ventricular end diastolic pressure.
Kriteria pasien ASD yang dapat dilakukan pemasangan ASO,
antara lain :
1. ASD sekundum
2. Diameter kurang atau sama dengan 34 mm
3. Flow ratio (Qp/Qs) lebih atau sama dengan 1,5 atau terdapat
tanda-tanda beban volume pada ventrikel kanan
4. Mempunyai rim posterior minimal 5 mm dari vena pulmonalis
kanan
5. Defek tunggal dan tanpa kelainan jantung lainnya yang
memerlukan intervensi bedah
6. Muara vena pulmonalis normal ke atrium kiri
7. Hipertensi pulmonal dengan resistensi vaskuler paru (Pulmonary
Artery Resistance Index = PARI) kurang dari 7 - 8 Wood Unit setelah dilakukan oksigen test.
8. Bila ada gagal jantung, fungsi ventrikel (EF) harus lebih
dari 30%.
Pathoflow PH dengan ASD
ASUHAN KEPERAWATAN PADA
HIPERTENSI PULMONAL AKIBAT ATRIAL SEPTAL DEFEK
a. PENGKAJIAN
1. ANAMNESA
Sesak nafas yang belum jelas penyebabnya, cepat lelah, lemah, sakit dada, sinkope, distensi
abdomen, dipsnoe paroksimal dan adanya faktor risiko PH (riwayat keluarga,
penyakit jaringan ikat, hipertensi portal, infeksi HIV dan penyakit jantung
bawaan dengan pirau)
2. PEMERIKSAAN
FISIK
a.
Sistem integumen : diaphoresis,
sianotik, clubbing finger dan oedem perifer
b.
Sistem Kardiovascular : Komponen pulmonal yang mengeras dari BJ II, distensi vena
jugularis (JVP meningkat)
c.
Sistem gastrointestinal : asites, hepatomegali, mual ,perut begah,
nafsu makan, diare, konstipasi dan pola BAB di rumah dan di Rumah sakit.
d.
Sistem Respirasi : Suara napas, ronchi, wheezing, kecepatan
dan kedalaman nafas, penggunaan otot otot bantu pernafasan.
e.
Sistem Persyarafan : tingkat kesadaran,
kelemahan ekstremitas, riwayat pelo atau
aphasia
f.
Sistem
perkemihan : Nyeri BAK, jumlah, warna dan konsistensi urin
g.
Sistem
penglihatan : konjungtiva(anemis), Sklera( kuning), kornea( arcus senilis),
eksoptalmus(tirotoxikosis).
h.
Status
psikologi : depresi , ansietas
i.
Suport
sosial : dukungan keluarga/ lingkungan dan finansial
j.
Pendidikan/
tingkat pengetahuan
3.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.
Thorax Foto
Adanya dilatasi arteri pulmoner disertai dengan
menghilangnya corakan perifer (pruning) dan pada tahap lanjut dapat
terlihat pembesaran atrium dan ventrikel kanan.
b.
EKG
Deviasi
aksis QRS ke kanan, hipertrofi ventrikel kanan (RVH) mild atau RBBB dengan pola rsR di V1 dan dilatasi
atrium kanan.
c.
Echocardiogram
Dari
echo dua dimensi dilihat besar dan lokasi ASD. Dilihat signifikansi pirau
left-to-right shunt termasuk pembesaran RA, RV dan penebalan PA. dari dopler
dilihat karakteristik pola aliran dengan left-to-right shunt maksimal saat
diastole. Dari echo M-mode memperlihatkan dimensi RV dan melihat tanda adanya
overload volume RV.
d.
TEE
Adanya pembesaran ventrikel kanan, gerakan paradoksal
interatrial, gerakan paradoksal interventrikel. Melihat posisi yang berhubungan
dengan jarak defek dengan dinding aorta, PA
e.
KATETERISASI
Kateterisasi ventrikel kanan, dengan pengukuran tekanan
pada PA, RA, CO, PCWP, PARI, saturasi oksigen pada ruang-ruang jantung.
1.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.
Thorax Foto
Adanya dilatasi arteri pulmoner disertai dengan
menghilangnya corakan perifer (pruning) dan pada tahap lanjut dapat
terlihat pembesaran atrium dan ventrikel kanan.
b.
EKG
Deviasi
aksis QRS ke kanan, hipertrofi ventrikel kanan (RVH) mild atau RBBB dengan pola rsR di V1 dan dilatasi
atrium kanan.
c.
Echocardiogram
Dari
echo dua dimensi dilihat besar dan lokasi ASD. Dilihat signifikansi pirau
left-to-right shunt termasuk pembesaran RA, RV dan penebalan PA. dari dopler
dilihat karakteristik pola aliran dengan left-to-right shunt maksimal saat
diastole. Dari echo M-mode memperlihatkan dimensi RV dan melihat tanda adanya
overload volume RV.
d.
TEE
Adanya pembesaran ventrikel kanan, gerakan paradoksal
interatrial, gerakan paradoksal interventrikel. Melihat posisi yang berhubungan
dengan jarak defek dengan dinding aorta, PA
e.
KATETERISASI
Kateterisasi ventrikel kanan, dengan pengukuran tekanan
pada PA, RA, CO, PCWP, PARI, saturasi oksigen pada ruang-ruang jantung.
a. DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.
Aktual / resti penurunan kardiac output
berhubungan dengan gagal jantung kanan
b.
Gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan perubahan pembuluh darah paru.
c.
Gangguan pola nafas berhubungan dengan
peningkatan aliran darah ke paru.
d.
Aktual/risiko tinggi gangguan perfusi jaringan
yang berhubungan dengan menurunnya curah jantung.
e.
Gangguan keseimbangan cairan dan
elektrolit berhubungan dengan penumpukan cairan di intertisial (oedem, asites).
f.
Intoleransi aktifitas yang berhubungan
dengan ketidakseimbangan antar suplai oksigen ke jaringan dengan kebutuhan
sekunder penurunan curah jantung
g.
Gangguan tumbuh kembang berhubungan
dengan penurunan cardiac output.
h.
Aktual/resiko tinggi terjadi gangguan
nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan distensi abdomen, mual dan
muntah.
i.
Aktual/risiko tinggi cedera yang
berhubungan dengan pusing dan kelemahan.
j.
Kurang pengetahuan berhubungan dengan
kurang informasi tentang proses penyakitnya.
2.7.2.5
Rencana / Intervensi Keperawatan
1.
Aktual / resti penurunan kardiac
output berhubungan dengan gagal jantung kanan
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam
penurunan curah jantung dapat teratasi dab menunjukkan tanda vital dalam
batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol/hilang, dan bebas dari gejala
gagal jantung)
Kriteria : klien dapat melaporkan
penurunan periode dispnea, berperan dalam mengurangi beban kerja jantung
(tekanan darah dalam batas normal, nadi tidak terjadi aritmia, capilary
refill 3”, dan produksi urine > 30 ml/jam.
Intervensi :
· Kaji
dan laporkan tanda penurunan curah jantung
Rasional : dapat mempercepat penangan
gagal jantung akut
· Periksa
keadaan klien dengan mengauskultasi nadi apikal
Rasional : terjadi takikardi meskipun
pada saat istirahat untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas
· Palpasi
nadi perifer
Rasional : penurunan curah jantung
menunjukkan menurunnya nadi (radialis, poplitea, dorsalis pedis dan
postibial)
· Pantau
adanya keluaran urine
Rasional : ginjal berespon untuk
menurunkan curah jantung dengan menahan cairan dan natrium
· Istirahatkan
klien dengan tirah baring optimal (kepala tempat tidur harus dinaikkan 20 –
30 cm atau klien didudukkan dikursi
Rasional : melalui imobilisasi
kebutuhan pemompaan jantung diturunkan, pada posis kepala tempat tidur
dinaikkan aliran balik vena ke jantung (preload) dan paru berkurang.
· Kaji
perubahan pada sensorik, contoh: letargi, cemas, dan depresi
Rasional : dapat menunjukkan tidak
adekuatnya perfusi serebral sekunder terhadap penurunan curah jantung
· Berikan
oksigen tambahan dengan nasal kanul/masker sesuai dengan indikasi
Rasional : meningkatkan kesediaan
oksigen untuk kebutuhan miokardium guna melawan efek hipoksia/iskemia
· Hindari
manuver dinamik (berjongkok)
Rasional : berjongkok meningkatkan
aliran balik vena dan resistensi srteri sistemik secara simultan menyebabkan
kenaikan volume sekuncup dan tekanan arteri
· Kolaborasi
untuk pemeberian diet jantung
Rasional : mengatur diet sehingga kerja dan keteganggan otot
jantung minimal dan status nutrisi terpelihara.
|
2. Gangguan
pertukaran gas berhubungan dengan perubahan pembuluh darah paru.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam tidak
ada keluhan sesak atau terdapat penurunan respon sesak napas
Kriteria : secara subyektif klien
menyatakan penurunan sesak napas, secara obyektif didapatkan TTV dalam batas
normal, tidak ada penggunaan otot –otot bantu pernafasan, AGDA dalam batas
normal
Intervensi :
· Berikan
tambahan O2 4 lt/mnt
Rasional : untuk meningkatkan
konsentrasi O2 dalam proses pertukaran gas
· Pantau
saturasi (oksimetri)
Rasioanal : intuk mengetahui tingkat
oksigenasi pada jaringan
· Koreksi
keseimbangan asam basa
Rasional : mencegah asidosis yang
dapat memperberat fungsi pernapasan
· Cegah
atelektasis dengan melatih batuk efektif dan napas dalam
Rasional : kongesti yang berat akan
memperburuk proses pertukaran gas
· Kolaborasi
dalam pemberian terapi (cairan,digoxin,diuretic)
Rasional : meningkatkan kontraktilitas
otot jantung, mencegah retensi cairan.
|
3. Gangguan
pola napas berhubungan dengan peningkatan aliran darah ke paru
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam tidak
terjadi perubahan pola nafas
Kriteria : klien tidak sesak napas, RR
dalam batas normal 16-20 x/mnt, respon batuk berkurang
Intervensi :
·
Auskultasi bunyi napas
Rasional : indikasi oedema paru akibat
peningkatan aliran ke paru
·
Kaji adanya oedema
Rasional : curiga gagal jantung
kongestif akibat adanya kelebihan volume cairan
·
Ukur intake dan output
Rasional : Penurunan curah jantung
mengakibatkan gangguan perfusi ke ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan
keluaran urine
|
4. Aktual/resiko
tinggi gangguan perfusi perifer yang berhubungan dengan menurunnya curah
jantung
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam perfusi
perifer meningkat
Kriteria : klien tidak mengeluh
pusing, TTV dalam batas normal, CRT 3”, urine > 1-1.5cc/kgbb/jam
Intervensi :
· Ukur
Tekanan darah
Rasioanal : hipotensi dapat terjadi
juga disfungsi ventrikel
· Kaji
warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer, dan diaphoresis secara teratur
Rasional : mengetahui derajat
hipoksemia, dan peningkatan tahanan perifer
· Kaji
peristaltik usus
Rasional : mengetahui pengaruh
hipoksia terhadap fungsi saluran cerna, serta dampak penurunan elektrolit
· Kaji
adanya kongesti hepar pada abdomen kanan atas
Rsional : sebagai dampak gagal jantung
kanan, jika berat akan ditemukan adanya tanda kongesti
· Pantau
urine output
Rasioanal : penurunan curah jantung
mengakibatkan menurunnya produksi urine
· Catat
adanya murmur, frekuensi jantung dan irama
Rasional : menunjukkan gangguan aliran
darah dalam jantung, dan adanya disritmia
· Berikan
makanan kecil/mudah dikunyah
Rasioanal : makanan besar dapat
meningkatkan kerja miokardium
· Kolaborasi
dalam pemasangan alat invasive
intravena
Rasional : jalur yang peten dan
penting untuk pemberian obat darurat
|
5. Intoleransi
aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan antara supplai oksigen ke
jaringan dengan kebutuhan sekunder dari penurunan curah jantung
Tujuan : aktivitas sehari – hari klien
terpenuhi dan meningkatnya kemampuan beraktivitas
Kriteria : klien menunjukkan kemampuan beraktivitas
tanpa gejala – gejala yang berat, terutama mobilisasi di tempat tidur
Intervensi :
·
Catat frekuensi jantung, irama,
dan perubahan TD, selama dan sesudah aktivitas
Rasional : respons
klien terhadap aktivitas dapat mengindikasikan adanya penurunan oksigen
miokard
·
Tingkatkan istirahat, batasi
aktivitas, dan berikan aktivitas senggang yang tidak berat
Rasional : menurunkan
kerja miokard/ konsumsi oksigen
·
Anjurkan klien untuk menghindari
peningkatan tekanan abdomen, misal mengejan saat BAB
Rasional : dengan
mengejan dapat menyebabkan peningkatan syaraf parasimpatis sehingga terjadi
bradikardi, menurunkan curah jantung
·
Jelaskan pola peningkatan
bertahap dari tingkat aktivitas, contoh bangun dari kursi, bila tidak ada
nyeri lakukan ambulasi, kemudian istirahat selama 1 jam
Rasional : aktivitas
yang maju memberikan kontrol jantung, meningkatkan reganggan, dan mencegah
aktivitas berlebihan
·
Pertahankan klien pada posisi
tirah baring sementara sakit akut
Rasional : untuk
mengurangi beban jantung
·
Pertahankan rentang gerak pasif
selama sakit
Rasional :
meningkatkan kontraksi otot sehingga membantu venous return
·
Evaluasi tanda vital saat
kemajuan aktivitas terjadi
Rasional : untuk
mengetahui fungsi jantung bila dikaitkan dengan aktivitas
·
Berikan waktu istirahat diantara
waktu aktivitas
Rasional : untuk
mendapatkan waktu cukup resolusi bagi tubuh dan tidak terlalu memaksa kerja
jantung
·
Pertahankan penambahan O2
sesuai kebutuhan
Rasional : untuk
meningkatkan oksigenasi jaringan
·
Selama akivitas kaji EKG,
dispnea, sianosis, kerja dan frekuensi napas, serta keluhan subjektif
Rasional : melihat
dampak aktivitas terhadap fungsi jantung
·
Berikan diet sesuai kebutuhan
(pembatasan cairan)
Rasional : untuk
mencegah retensi cairan dan edema akibat penurunan kontraktilitas jantung
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar