Selasa, 22 September 2015

ASUHAN KEPERAWATAN PADA HIPERTENSI PULMONAL AKIBAT ATRIAL SEPTAL DEFEK

PULMONAL HIPERTENSI

 DEFINISI
Pulmonary Hypertension (PH)/ Hipertensi Pulmonal adalah kondisi hemodinamik dan pathofisiologis yang didefinisikan sebagai peningkatan pada mean Pulmonary Arterial Pressure (PAP) ≥ 25 mmHg yang dikaji pada saat istirahat dari hasil kateterisasi jantung kanan. Definisi PH saat exercise adalah apabila mean PAP ≥ 30 mmHg yang didapatkan dari hasil pengkajian kateterisasi jantung kanan. PH dapat ditemukan dari berbagai masalah klinis.(European Heart Journal, 2009)
PH, menurut Jacques I. Benisty dalam Journal AHA, adalah kenaikan tekanan di pembuluh darah pulmonal yang abnormal. Dapat juga dikatakan tekanan darah tinggi di paru, yang secara normal tekanan di pembuluh darah pulmonal sekitar seperempat dari tekanan darah sistemik dan kadang-kadang meningkat untuk beradaptasi saat beraktifitas.
Definisi PH secara hemodinamik dibagi tiga, yaitu:
1.      PH yaitu dengan karakteristik mean PAP ≥ 25 mmHg yang ditemukan pada seluruh kelompok klinis
2.      Pre-capillary PH yaitu dengan karakteristik mean PAP ≥ 25 mmHg, Pulmonary wedge pressure (PWP) ≤ 15 mmHg, dengan Cardiac Output (CO) normal atau menurun, tipe ini ditemukan pada pulmonary arterial hypertension (PAH), PH yang disebabkan oleh penyakit paru, PH tromboembolik kronis, PH dengan mekanisme multifaktorial yang jelas maupun yang belum jelas.
3.      Post-capillary PH yaitu dengan karakteristik mean PAP ≥ 25 mmHg, PWP > 15 mmHg, CO normal atau menurun, Transpulmonary Pressure Gradien (TPG) ≤ 12 mmHg pada yang pasif dan TPG > 12 mmHg pada yang reaktif. (European Heart Journal, 2009)
Menurut Myung K.Park, pada kondisi normal saat dilakukan pengukuran langsung di ruang kateterisasi jantung, didapatkan tekanan PA sistolik pada dewasa dan anak ≤30mmHg dan Mean PAP ≤25mmHg pada batas permukaan laut. Diagnosa PH dapat dinyatakan apabila PAP ≥25mmHg pada batas permukaan  laut pada pasien saat istirahat. Tekanan PA lebih tinggi pada setiap peningkatan level ketinggian.
Pada metode noninvasive seperti dopler, dapat juga mengestimasi tekanan PA. Metode yang digunakan adalah dengan pengukuran tricuspid regurgitasi  jet velocity dan pengukuran modifikasi Bernauli, dengan asumsi tekanan RA 10mmHg, Tekanan mean PA sistolik ditemukan 28.3 ± 4.9 mmHg (range 15 – 57 mmHg) pada dewasa dan infant dilaporkan temuan nilai yang lebih tinggi menggunakan metode invasive (McQuillan et al, 2001). Dengan dopler, estimasi tekanan PA sistolik dengan nilai 36 – 40 mm Hg diasumsikan sebagai PA hipertensi mild

 FISIOLOGI
Fisiologi dasar sirkulasi pulmonal dan respon vascular pulmonal:
1.      Pulmonary Vascular Resistance (PVR) merupakan fungsi dari jumlah, panjang dan diameter dari pembuluh darah pulmonal. PVR meningkat dengan adanya stenosis arteri pulmonal dan hipoplastik paru. Faktor penentu lain dari PVR adalah viskositas darah, masa total dari paru, stenosis pembuluh darah dan kompresi ekstramural dari pembuluh darah. PVR normal adalah 1 Wood unit (atau 67 ± 23 [SD] dyne-sec/cm), merupakan 1/10 dari nilai SVR.
PVR = (MPAP – PCWP)/CO
MPAP = Mean Pulmonal Artery Pressure, CO = Cardiac Output
PCWP = the Pulmonary Capillary Wedge Pressure
2.      Sintesa sel endotel dan jaringan paru dan atau aktivasi hormone vasoaktif dan inaktivasi factor lain. Keseimbangan dari substansi vasoaktif membantu menyeimbangkan normal vascular tone. Pada kondisi normal, keseimbangan dari Nitric oxide (NO) sebagai vasodilator dan endothelin sebagai vasokontriktor oleh sel endothelin sebagai factor kunci dari regulasi vascular pulmonal.
a.       Endothelin-1 (ET1), isoform dominan dari endotelin yang merupakan vasokontriktor kuat.
b.      Nitric oxide (NO), yang disintesa pada vascular endothelium merupakan vasodilator.
c.       Prostaglandin (PGs) yang disintesa, dimetabolis dan dikeluarkan oleh jaringan paru. PGI2 dan PGE1 merupakan vasodilator sedangkan PGF dan PGA2 merupakan vasokontriktor.
d.      Serotonin adalah vasokontriktor yang merangsang hipertropi sel otot polos. Serotonin menstimulasi pelepasan NO pada sel endothelial normal tetapi serotonin tidak dapat menstimulasi pelepasan NO apabila terjadi disfungsi sel endothelial.
3.      Pada kondisi tertentu perubahan PVR dapat dikarenakan:
a.       Hipoxia yang disebabkan oleh vasokontriksi, produksi NO menurun dan produksi endotelin meningkat.  Endotelin reseptor antagonis mengurangi hypoxic vasokontriksi pulmonal. Tekanan oksigen alveolar adalah penentu fisiologis mayor dari pulmonary arteriolar tone.
b.      Asidosis secara signifikan meningkatkan PVR, bekerja secara sinergis dengan hypoxia.
c.       Adrenoreseptor α dan β menyebabkan vasokontriksi dan vasodilatasi. Α-Adrenergic blocker (seperti phentolamine, tolazoline) menurunkan PVR.
d.      Daerah dataran tinggi (high altitude) dengan tekanan oksigen alveolar yang rendah berhubungan dengan vasokontriksi pulmonal dengan berbagai tingkatan. Terdapat variasi spesies dan individual yang besar pada reaktifitas dari arteri pulmonal dengan tekanan oksigen alveolar yang rendah.

KLASIFIKASI KLINIK HIPERTENSI PULMONAL
Klasifikasi Klinis Hipertensi Pulmonal (Dana Point, 2008)
1. Hipertensi Arteri Pulmonal (PAH)
a.       Idiopatik
b.      Heritable
1)      BMPR2
2)      ALK1, endoglin (dengan atau tanpa telangiectasia haemoragic herediter)
3)      Tidak diketahui
c.       Terpapar Obat dan Toxin
d.      Berhubungan dengan (APAH)
1)      Penyakit jaringan ikat
2)      Infeksi HIV
3)      Hipertensi portal
4)      Penyakit jantung bawaan
5)      Schistosomiosis
6)      Anemia haemolitic kronik
e.        Persistent pulmonary hipertension of the newborn (PPHN)
1’.Penyakit oklusi vena pulmonal dan/atau Hemagiomatosis kapiler pulmonal
2. Hipertensi Pulmonal yang berhubungan dengan penyakit jantung kiri
a.       Disfungsi sistolik
b.      Disfungsi diastolic
c.       Penyakit Katup
3.   Hipertensi pulmonal berhubungan dengan penyakit respirasi paru dan/ atau hipoksia
a.       Penyakit paru obstruksi kronis
b.      Penyakit paru intertisial
c.       Kelainan pernafasan saat tidur
d.      Kelainan hipoventilasi alveolar
e.       Pemaparan altitude tinggi yang kronis
f.       Kelainan tumbuh kembang
4. Hipertensi pulmonal akibat penyakit thromboemboli kronik (CTEPH)
5. PH dengan mekanisme yang belum jelas dan/ataumekanisme multifokal
a.       Gangguan hematologi ; gangguan myeloproliferative, splenectomy
b.      Gangguan sistemik; sarcoidosis, pulmonary Langerhans Cell histiocytosis, vasculitis
c.       Gangguan metabolik; penyakit glicogen storage, penyakit Gaucher, Gangguan tiroid
d.      Lain-lain: obstruksi tumoural, fibrosing mediastinitis, CKD dalam terapi dialisa
Klasifikasi klinis ini merupakan hasil konsensus World Symposium yang ke empat tahun 2008 yang bertempat di Dana Point, California. Pada setiap grup memiliki karakteristik klinis dan anatomi- patofisiologi yang sama pada masing-masing grup. Pada grup 1 patofiologinya sama-sama dapat membentuk lesi plexiform. Pada grup 1’ memiliki karakteristik yang sama dengan IPAH tetapi juga terdapat perbedaan yang terlihat. Oleh sebab itu dibuat kategori terpisah tetapi tidak seluruhnya terpisah.
  
PATOGENESIS
Terjadinya PH dapat disebabkan adanya kerentanan individu yang dipengaruhi oleh factor resiko dan factor pencetus. Proses patologis yang progresif meningkatkan terjadinya vasokontriksi, proliferasi sel dan vascular remodeling yang progresif.
Mediator-mediator dalam sel pembuluh darah sangat mempengaruhi setiap komponen dari dinding arteri (intima, media, adventitia). Kerusakan pembuluh darah diperburuk dengan disfungsi endothelial otot polos. Hyperplasia dan perubahan matrix yang disebabkan patologis multifactor yang kompleks
Vasokontriksi dan hipertropi medial terjadi pada awal proses remodeling vascular dan mungkin dapat dikarenakan injuri sel endotelial. Injuri menyebabkan peningkatan pelepasan agen vasokontriktor kuat yaitu endothelin 1, tromboxan A2, dan supresi dari vasodilator kuat seperti prostacyclin dan NO.  Disfungsi endothelial berkaitan dengan gangguan kronik dari sintesa NO dan sintesa prostasiklin dan juga pelepasan yang berlebihan dari endotelin 1 (ET1). ET1 berhubungan dengan efek merusak pada vascular pulmonal yang akut dan kronis. Efek akut meliputi vasokontriksi dan inflamasi, sedangkan efek kronis meliputi fibrosis, sekresi neurohormonal dan proliferasi selular. Vasokontriksi akut yang mengarah ke kronis berhubungan dengan disfungsi chanel Ca­­2+-sensitive K+ di sel otot polos dan disfungsi endotelin. Hipoksia pada PAH menurunkan regulasi chanel K+ pada sel otot polos yang menyebabkan pelepasan Ca2+ dan menyebabkan vasokontriksi. Lesi flexiform terjadi berhubungan dengan munculnya immunologi VEGF, pada saat terjadinya proses vasoproliferasi berhubungan dengan gangguan angiogenesis. Pengeluaran yang berlebihan transporter serotonin berhubungan dengan lapisan medial pada hipertropi otot polos dinding arteri pada pasien PAH.
Dari semua mediator, ET1 mempunyai peranan yang sangat besar dan signifikan pada patogonesis PAH. ET1 adalah peptida asam amino endogen 21 yang dikeluarkan oleh endotelin yang menyebabkan efek vasokontriksi kuat, mitogenik dan profibrotik. ET1 terbentuk saat endotelin-cinverting enzim (ECE) memecahkan ET1. Terdapat dua resptor ET1 yang menyebabkan proliferasi sel pada PAH, yaitu Eta dan ETb. Reseptor Eta menyebabkan vasokontriksi dan proliferasi sel pada otot polos pembuluh darah dan fibroblast. Seperti Eta, ETb ditemukan pada sel otot polos pembuluh darah dan fibroblast dan juga ditemukan pada sel endothelial, macrofag dan system saaraf simpatis. Pada kondisi normal, reseptor ETb menyebabkan vasodilatasi. Pada kondisi sakit, regulasi ETb menurun pada endotelin untuk menyokong vasokontriksi dan regulasinya meningkat pada otot polos vaskuler untuk mempertahankan kondisi proliferative. Menurunnya regulasi chanel Ca2+-sensitive K+ berperan pada prolifesai sel. Pada dasarnya reseptor ETb bertanggung jawab pada hamper 50% sirkulasi ET1 selama perfusi pulmonal. Peningkatan level ET1 berhubungan dengan keparahan dan prognosis penyakit.
ET1 berhubungan dengan hyperplasia dan remodeling vascular seperti yang terlihat pada lesi flexiform pada PAH. Struktur remodeling spesifik pada vascular yang dimanifestasikan dengan perubahan sel intima dan in situ  thrombosis yang akhirnya menjadi lesi flexiform. Karakteristik dari penebalan intima adalah nuclei yang berbentuk oral dan cytoplasma yang berlebihan dengan elastin yang jarang. Karakteristik lain dari remodeling vascular adalah ditemukannya macrofag, fibrosis intima, proliferasi sel endothelial dan sel otot polos yang imatur. Prostacyclin adalah vasodilator endogen kuat yang diaktivasi melalui rantai cAMP-dependen. prostacyclin juga menghambat efek agregasi platelet, proliferasi otot polos dan inflamasi. Sintesa prostacyclin menurun pada sel endothelial pasien PAH. Vasodilator endothelial dihambat oleh penurunan sintesa NO. NO merupakan vasodilator kuat otot polos dan properti antiproliferasi yang diaktifkan oleh cyclic guanosine monophosphate phosphodiesterase-type 5 pathway (rantai cGMP).

PATOFISIOLOGI
Tekanan (P) dipengaruhi oleh aliran (F) dan resistensi vascular (R)
P = F x R
Peningkatan dari aliran dan resistensi vascular atau peningkatan salah satunya dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal. Dengan demikian, PH berhubungan dengan kontriksi dari arteriole pulmonal yang menyebabkan peningkatan PVR dan terjadinya hypertropi RV.
Pada kondisi normal RV yang tipis tidak dapat mengatasi peningkatan tekanan yang mendadak diatas 40 – 50 mm Hg. Akut right heart failure dapat terjadi karena kondisi dimana PVR meningkat secara tajam. Apabila PH berkembang secara perlahan, RV hipertropi dapat mentoleransi PH mild (dengan tekanan sistolik sekitar 50 mmHg) tanpa menimbulkan masalah klinis. Apabila ada kondisi penyakit paru yang hebat yang menjadi beban, hipoksia alveolar atau asidosis dapat menyebabkan hipertropi mild RV, dan apabila terjadi peningkatan tekanan pulmonal mendekati atau lebih besar dari tekanan sistemik maka akan terjadi kegagalan RV (Right Heart Failure/ RHF).          

PENEGAKAN DIAGNOSA
a.     Presentasi Klinis
Gejala PH tidak spesifik, meliputi sesak napas, cepat lelah, kelemahan, nyeri dada, sinkope dan distensi abdomen. Gejala saat istirahat hanya terjadi pada kondisi yang lebih lanjut.  Pada pemeriksaan fisik bunyi jantung II komponen pulmoner yang mengeras, adanya bising jantung pansistolik di daerah parasternal kiri bagian bawah (regurgitasi trikuspid), bising diastolik dari insufisiensi pulmoner dan bunyi jantung III dari ventrikel kanan. Pada pasien dengan gagal jantung kanan berat dapat ditemukan distensi vena jugularis, hepatomegali, ascites, edema perifer dan ekstremitas yang dingin.
a.         Pemeriksaan Penunjang
1.      Elektrokardiogram
Temuan elektrokardiogram yang mendukung adanya PH adalah deviasi aksis QRS ke kanan, hipertrofi ventrikel kanan disertai strain dan dilatasi atrium kanan.
1.      Foto Toraks
Foto toraks menunjukan adanya dilatasi arteri pulmoner disertai dengan menghilangnya corakan perifer (pruning) dan pada tahap lanjut dapat terlihat pembesaran atrium dan ventrikel kanan. Dilain pihak foto toraks dapat menentukan penyebab PAH bila ditemukan adanya emfisema, fibrosis atau abnormalitas rongga toraks.

2.      Ekokardiogram
Pemeriksaan ekokardiogram dapat mengkonfirmasi Hipertensi Pulmoner dan etiologinya (Penyakit jantung bawaan, Penyakit jantung katup dan penyakit jantung koroner). Parameter yang harus dinilai pada pemeriksaan ekokardiogram adalah dimensi atrium kanan dan ventrikel kanan, tekanan sistolik ventrikel kanan, fungsi ventrikel kanan dan kiri, tekanan arteri pulmoner, penyakit jantung kiri dan efusi perikard.
3.      Test Fungsi Paru & Analisa Gas darah
Tes fungsi paru dan analisa gas darah dapat membedakan PAH akibat gangguan saluran nafas atau kelainan parenkim paru. Pasien dengan PAH mempunyai kapasitas difusi dari CO2 (DLco2) yang menurun dan volume paru juga menurun. PaO2 normal atau sedikit rendah disertai CO2 yang rendah akibat hiperventilasi.
4.      CT Scan Arteri Pulmonal
CT scan angio arteri pulmonal diperlukan untuk pasien penyakit parenkim paru, penyakit veno oklusi dan limfadenopati dan hipertensi pulmonal dengan tromboemboli kronik untuk menentukan indikasi endoarterektomi.
Gambaran CT scan angio CTEPH adalah obstruksi arteri pulmonal, filling defek eksentrik konsisten dengan thrombus, rekanalisasi, dan stenosis.
5.      Scanning V/Q Paru
Normal atau defek kecil di perifer non segmental pada IPAH
Perfusi lobaris dan regio segmental paru terganggu pada CTEPH
6.      Skrining trombofilia dan Penyakit Autoimun
Skrining thrombofilia harus dilakukan termasuk pemeriksaan antibodi anti-fosfolipid (antikoagulan lupus dan antibodi anti-kardiolipin)
Antinuclear antibodys (ANA)
7.      Kateter Jantung Kanan
Diperlukan untuk konfirmasi PH, profil hemodinamik dan uji vasoreaktif akut
Parameter yang dinilai:
a. tekanan atrium kanan (RAP)
b. tekanan arteri pulmonal s/m/d (PAP)
c. tekanan baji kapiler paru  (PCWP)
d. CO/CI
e. resistensi vaskular pulmonal (PVR)
f.  resistensi vaskular sistemik (SVR)
g. Tekanan arteri sistemik
h. Saturasi O2 ( arteri dan Mixed vein)

  EVALUASI TINGKAT KEPARAHAN
Hasil dari simposium di Dana Paint, 2008, berdasarkan data klinis, temuan dari pemeriksaan invasive dan non-invasive, kondisi klinis pasien dapat dibagi atas stabil dan memuaskan, stabil tapi tidak memuaskan dan tidak stabil dan perburukan.
a.       Stabil dan memuaskan
Kondisi pasien ini mayoritas memenuhi sarat dari prognosis yang baik dari tabel tingkat keparahan PH
b.      Stabil tetapi tidak memuaskan
Walaupun kondisi klinis pasien ini stabil namun nilai dari kondisi prognosis baik pada tabel keparahan PH tidak terpenuhi.  Pada pasien ini perlu reevaluasi untuk perubahan treatmen dengan pengkajian lengkap.
c.       Tidak stabil dan perburukan
Pasien ini memenuhi semua sarat pada prognosis yang buruk dari tabel keparahan PH.  Biasanya sudah terjadi low output heart failure dan memerlukan tindakan yang cepat.
Klasifikasi Status Fungsional PH (NYHA/WHO )
KELAS
DESKRIPSI

I

II


III


IV
Pasien dengan hipertensi pulmonal tanpa adanya keterbatasan aktivitas fisik normal. Aktivitas sehari-hari normal tidak mengakibatkan sesak nafas, lelah, nyeri dada atau pre-sinkope
Pasien dengan hipertensi pulmonal dengan keterbatasan aktivitas berat. Tidak ada keluhan saat istirahat maupun aktivitas sehari-hari normal. Namun pada aktivitas berat mengakibatkan sesak nafas, lelah, nyeri dada atau pre-sinkope
Pasien dengan hipertensi pulmonal dengan keterbatasan aktivitas ringan. Tidak ada keluhan saat istirahat, namun aktivitas sehari-hari normal sudah mengakibatkan peningkatan sesak, lelah, nyeri dada atau pre-sinkope
Pasien dengan hipertensi pulmonal yang tidak dapat melakukan aktivitas fisik apapun dan memperlihatkan adanya tanda gagal jantung kanan saat istirahat. Keluhan sesak nafas dan/atau lelah dirasakan saat istirahat dan bertambah berat dengan aktivitas fisik

2.1.8. PENATALAKSANAAN HIPERTENSI PULMONAL
Penatalaksanaan pada pasien PH tidak hanya sebatas obat-obatan yang diresepkan tetapai merupakan strategi yang komplek yang mencakup evaluasi dari keparahan, tatalaksana umum, dan suportif, pengkajian vasoreaktivitas, estimasi dari efektivitas terapi dan kombinasi dari obat-obatan dan intervensi.
1.         Penatalaksanaan Umum
  1. Aktifitas Fisik
Semua kegiatan yang dapat menyebabkan sesak, pingsan dan nyeri dada harus dihindari, demikian juga aktifitas fisik setelah makan maupun dalam suhu yang ekstrim.
  1. Bepergiaan
Disarankan untuk menghindari hipoksia hipobarik ringan yang terjadi pada ketinggian antara 1500 m dan 2000 m diatas permukaan laut. Jika bepergian dengan menggunakan pesawat terbang komersial, biasanya dengan tekanan setara dengan ketinggian 1600 dan 2500 m, sehingga diperlukan suplemen oksigen.
  1. Pencegahan Infeksi
Penderita dengan PAH sangat mudah untuk terjadinya infeksi pneumonia yang menyumbangkan angka kematian 7%. Bila terjadi pneumonia sebaiknya dirawat untuk terapi yang agresif. Pemberian vaksin sangat disarankan untuk influenza dan pneumokokus pneumonia.
  1. Kehamilan, persalinan kelahiran, dan kontrasepsi
Kehamilan dan persalinan meningkatkan angka kesakitan dan kematian. Konsesus AHA dan ACC kehamilan sebaiknya dihindarkan atau diakhiri pada wanita dengan kelainan jantung bawaan sianosis, hipertensi pulmonal dan sindroma eisenmenger, dengan angka kematian ibu 30 – 50 %. Belum ada kesepakatan dari para pakar, metode apa yang cocok untuk mengontrol kehamilan pada kasus seperti ini.
  1. Kadar haemoglobin
Penderita dengan PAH dengan hipoksia yang lama menyebabkan meningkatan kadar eritrosit dan peningkatan kadar hematokrit.
Plebotomi diindikasikan pada kasus dengan kadar hematokrit lebih dari 65 yang disertai keluhan seperti sakit kepala dan lain-lain.
  1. Bedah elektif
Pada pasien dengan PAH risiko akan meningkatkan bila dilakukan bedah elektif pada kasus bedah thoraks dan abdomen, semakin meningkat seiring dengan beratnya fungsional klas dari NYHA. Belum jelas metode anestesi yang aman digunakan pada penderita PAH, tetapi anestesi epidural mungkin lebih aman dibandingkan dengan anestesi umum.

  1. Psikologis
Depresi dan kecemasan dapat mempengaruhi kualitas hidup. Informasi tentang penyakit PAH ini sangat diperlukan oleh penderita, juga support dari rekan-rekan sesama penderita maupun keluarga
2.      Terapi Suportif
  1. Terapi Koagulan Oral
Pada pasien dengan IPAH banyak ditemukan lesi vascular trombotikdan juga dilaporkan adanya abnormalitas pada fungsi koagulasi dan alur fibrinolotik. Berdasarkan studi restrospektif dan pengalaman, antikoagulan biasanya diberikan untuk pasien dengan IPAH, Heritable PAH, dan PAH dengan masalah anorexigen
  1. Diuretik
Pada pasien dengan dekompensasi RHF yang berhubungan dengan retensi cairan, peningkatan CVP, kongesti hepatic, asites dan edema perifer diperlukan terapi diuretic. Namun sangat penting untuk memonitor fungsi renal dan biokimia darah, untuk menghindari hipokalemi dan efek dari penurunan cairan intravascular yang dapat menyebabkan pre-renal failure.
  1. Digoksin
Digoksin dapat meningkatkan cardiac output pada pasien IPAH akut, diberikan untuk menurunkan ventricular rate pada pasien PAH dengan masalah atrial tachiaritmia.
3.      Terapi Spesifik
  1. Kalsium Chanel Bloker
Kalsium chanel bloker merupakan vasodilator tradisional sejak pertengahan tahun1980an. Dari hasi studi dilaporkan kalsium chanel bloker yang biasa diberikan adalah nifedipin, diltiazem dan amlodipin


  1. Prostanoid (prostacyclin)
Prostacyclin diproduksi di sel endothelial yang merupakan vasodilator kuat pada seluruh dinding vaskular, dan prostacyclin juga  menghambat aktivitas platelet dan menunjukan aktivitas cytoprotektif dan antiproliferasi. Obat-obatan yang termasuk prostacyclin adalah Epoprostenol, Ilopros, Treprostinil, Beroprost.
  1. Endothelin Reseptor Antagonis
Aktivasi endothelin-1 menyebabkan efek vasokontriksi dan mitogenik dengan mengikat dua reseptor pada sel otot polos , yaitu reseptor endotelin–A dan endotelin-B. reseptor Endotelin-B ada di sel endothelial dan aktivasinya menyebabkan pelepasan substansi vasodilator dan antiproliferasi seperti NO dan prostacyclin yang menyeimbangkan efek vasokintriktor dari endotelin-1. Terapi yang termasuk endotelin reseptor antagonis adalah Bosentan, Sitaxentan, Ambrisentan.
  1. Phospodiesterase type 5 Inhibitor
Penghambatan dari cGMP-degrading enzyme phosphodiesterase type-5 menyebabkan penghambatan pemecahan cGMP yang ada di otot polos pembuluh darah dan , menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah. Terapi yang termasuk PDE S inhibitor adalah sildenafil dan tadalafil
4.      Penatalaksanaan Aritmia
Aritmia sering terjadi pada pasien PH. Pada pasien dengan penyakit jantung kiri biasanya trerjadi VT, VF. Sedangkan pada pasien PAH  biasanya terjadi Atrial fluter dan atrial fibrilasi dan juga merupakan tanda terjadinya right heart failure.
5.      BAS
Pasien dengan  sindroma Eisenmenger dan pasien IPAH dengan paten foramen ovale lebih dapat bertahan dari pada pasien yang tanpa foramen ovale. Dari konsep tersebut atrial septostomi merupakan salah satu treatmen untuk IPAH. Namun dampak dari BAS tidak baik untuk jangka panjang, oleh sebab itu BAS hanya dilakukan sebagai briging sebelum dilakukan tindakan lanjutan seperti transplantasi paru.
6.      Transplantasi
Transplantasi adalah terapi spesifik lanjutan bagi pasien PH. Pasien dengan profil prognosis yang buruk dengan maksimal medikal terapi dapat dilakukan transplantasi paru. Bahkan ntransplantasi jantung dan paru pernah dilakukan pada pasien PH.
2.2. PULMONAL HIPERTENSI AKIBAT ATRIAL SEPTAL DEFEK
2.2.1. Atrial Septal Defek (ASD)
Atrial Septal Defek (ASD) adalah salah satu kelainan jantung, pada kelainan ini terjadi hubungan antara atrium kanan dengan atrium kiri melalui sebuah celah abnormal di sekat yang memisahkan kedua atrium. Pembentukan ASD merupakan proses yang kompleks, terjadi saat pertumbuhan dan reabsorpsi parsial dari dua membrane jaringan, septum primum dan septum sekundum; penggabungan dari kedua membran ini membentuk bantalan endokardial, dan reabsorpsi dari fetal sinus venosus akan membentuk struktur yang menjadi atrium kanan, kesalahan dalam proses pembentukan ini akan menyebabkan defek pada dinding yang memisahkan atrium kanan dan atrium kiri. Ada tiga tipe ASD, yaitu\
1.      ASD ostium primum, disebabkan karena defisiensi jaringan bantalan endokardial.
2.      ASD ostium sekundum, disebabkan karena reabsorpsi yang berlebihan dari septum primum.
3.      ASD sinus venosus, disebabkan karena kesalahan dari penggabungan ruang sinun venosus menjadi atrium kanan.

2.2.2. Pathofisiologi
Patofisiologi pada ASD kompleks dan multifaktorial. Pada kebanyakan pasien alirannya dominan dari kiri ke kanan, tetapi kadang-kadang terjadi   dari kanan ke kiri. Bagian terbesar dari shunt terjadi selama diastole. Shunt adalah koneksi yang abnormal yang menyebabkan darah mengalir langsung dari satu sisi sirkulasi jantung ke sirkulasi yang lain. Shunting dari kiri ke kanan, menyebabkan porsi dari venous return pulmonal kembali lagi ke paru, yaitu darah dari atrium kiri yang kaya akan oksigen ke atrium kanan yang belum teroksigenasi, hal ini menyebabkan saturasi oksigen di atrium kiri meningkat (step-up) dan ini juga menyebabkan menurunan cardiac output sesuai dengan jumlah dari volume shunt, yang akan menyebabkan Deliveri Oksigen (DO2) ke jaringan menurun.
Sedangkan shunting dari kanan ke kiri, menyebabkan darah yang belum teroksigenasi dari vena sistemik langsung masuk ke atrium kiri dan menyebabkan saturasi oksigen di atrium kiri menurun (step-down), dan darah ini ikut di pompakan keseluruh tubuh melalui sirkulasi arteri. Sehingga Oksigen content (CaO2) pada arteri sistemik menurun karena adanya pencampuran dengan darah yang sudah teroksigenasi dengan darah yang belum teroksigenasi. Dengan penurunan oksigen content, walaupun Cardiac output normal, maka deliveri oksigen menurun dan kapasitas kerja dari otot terbatas.
Rasio dari aliran darah pulmonal dan aliran darah sistemik (ratio Qp/Qs), adalah alat yang penting dalam menghitung besar shunting. Rasio Qp/Qs 1:1 adalah normal, biasanya mengindikasikan bahwa tidak ada shunting. Ratio Qp/Qs >1:1 mengindikasikan bahwa aliran pulmonal lebih besar dari sistemik, ini menggambarkan adanya shunting dari kiri ke kanan. Sedangkan rasio Qp/Qs <1:1 menggambarkan adanya shunting dari kanan ke kiri. Dan bila terjadi bidirectional shunt atau dari kiri ke kanan dan kanan ke kiri pada pasien yang sama, maka memungkinkan hasil Qp/Qs 1:1.
PH pada ASD cukup jarang, walaupun dengan defek yang besar, hal ini karena kapasitas yang besar dari pulmonal. Dari hasil observasi, penyakit vascular pulmonal berkembang pada pasien dengan ASD yang kecil, dan tidak terjadi pada mayoritas pasien ASD yang besar.
Ketika PH severe terjadi maka akan terjadi RV sistolik failure, RV end-sistolik volume (RVESV) meningkat. Pada pasien dengan ASD, terjadi sistemik venous stasis dan terjadi tanda dari gagal jantung kanan seperti anasarka dan low cardiac output, karena LV hanya memompakan darah yang datang dari paru. Pada pasien PH pada ASD, defek menyebabkan adanya darah yang masuk dari atrium kanan ke atrium kiri. Darah yang menuju RV didapat dari pulmonal dan RA untuk menambah preload. Pada pasien ini akan terlihat sianosis dan menunjukan respon yang minimal terhadap pemberian oksigen. Tetapi, biasanya deliveri oksigen jaringan lebih baik pada pasien PH dengan ASD dari pada tanpa ASD. Oleh sebab itu, Pasien dewasa dengan ASD moderate atau severe biasanya dengan menutup ASD nya tidak terlihat peningkatan keberhasilan keselamatan hidup. Sama halnya pada pasien stage akhir primary PH dibuat ASD, yang telah memperlihatkan hasil dan keuntungan dengan memperpanjang jangka waktu hidup dan sebagai penyambung sebelum dilakukan transplanstasi paru. (Sommer, Hijazi, Rhodes, 2008)
PH pada penyakit jantung bawaan mempunyai prognosis yang baik apabila resistensi pulmonal masih reversible. Penatalaksanaannya adalah dengan dilakukan penutupan pirau jantung. Penutupan pirau dapat dilakukan dengan cara pembedahan dan pemasangan ASO. Menurut dr Indriwanto,Sp.Jp (2010) untuk mengetahui apakah resistensi pulmonal masih reversibel salah satunya adalah dengan dilakukan penutupan pirau dengan balon kateter lalu dilakukan pengukuran hemodinamik. Resistensi pulmonal masih reversibel apabila terdapat respon positif penurunan PAP ≥25% dari nilai semula selama penutupan, tanpa adanya penurunan tekanan sistemik atau peningkatan ventricular end diastolic pressure.


Kriteria pasien ASD yang dapat dilakukan pemasangan ASO, antara lain :
1.      ASD sekundum
2.      Diameter kurang atau sama dengan 34 mm
3.      Flow ratio (Qp/Qs) lebih atau sama dengan 1,5 atau terdapat tanda-tanda beban volume pada ventrikel kanan
4.      Mempunyai rim posterior minimal 5 mm dari vena pulmonalis kanan
5.      Defek tunggal dan tanpa kelainan jantung lainnya yang memerlukan intervensi bedah
6.      Muara vena pulmonalis normal ke atrium kiri
7.      Hipertensi pulmonal dengan resistensi vaskuler paru (Pulmonary Artery Resistance Index = PARI) kurang dari 7 - 8 Wood Unit setelah dilakukan oksigen test.
8.      Bila ada gagal jantung, fungsi ventrikel (EF) harus lebih dari 30%.

Pathoflow PH dengan ASD

ASUHAN KEPERAWATAN PADA HIPERTENSI PULMONAL AKIBAT ATRIAL SEPTAL DEFEK
a.  PENGKAJIAN
1.      ANAMNESA
Sesak nafas yang belum jelas penyebabnya, cepat lelah, lemah, sakit dada, sinkope, distensi abdomen, dipsnoe paroksimal dan adanya faktor risiko PH (riwayat keluarga, penyakit jaringan ikat, hipertensi portal, infeksi HIV dan penyakit jantung bawaan dengan pirau)
2.      PEMERIKSAAN FISIK
a.          Sistem integumen : diaphoresis, sianotik, clubbing finger dan oedem perifer
b.         Sistem Kardiovascular : Komponen pulmonal yang mengeras dari BJ II, distensi vena jugularis (JVP meningkat)
c.          Sistem gastrointestinal  : asites, hepatomegali, mual ,perut begah, nafsu makan, diare, konstipasi dan pola BAB di rumah dan di Rumah sakit.
d.         Sistem Respirasi  : Suara napas, ronchi, wheezing, kecepatan dan kedalaman nafas, penggunaan otot otot bantu pernafasan.
e.          Sistem Persyarafan : tingkat kesadaran, kelemahan ekstremitas,  riwayat pelo atau aphasia
f.          Sistem perkemihan : Nyeri BAK, jumlah, warna dan konsistensi urin
g.         Sistem penglihatan : konjungtiva(anemis), Sklera( kuning), kornea( arcus senilis), eksoptalmus(tirotoxikosis).
h.         Status psikologi : depresi , ansietas
i.           Suport sosial : dukungan keluarga/ lingkungan dan finansial
j.           Pendidikan/ tingkat pengetahuan

3.      PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.          Thorax Foto
Adanya dilatasi arteri pulmoner disertai dengan menghilangnya corakan perifer (pruning) dan pada tahap lanjut dapat terlihat pembesaran atrium dan ventrikel kanan.
b.         EKG
        Deviasi aksis QRS ke kanan, hipertrofi ventrikel kanan (RVH) mild atau  RBBB dengan pola rsR di V1 dan dilatasi atrium kanan.
c.          Echocardiogram
Dari echo dua dimensi dilihat besar dan lokasi ASD. Dilihat signifikansi pirau left-to-right shunt termasuk pembesaran RA, RV dan penebalan PA. dari dopler dilihat karakteristik pola aliran dengan left-to-right shunt maksimal saat diastole. Dari echo M-mode memperlihatkan dimensi RV dan melihat tanda adanya overload volume RV.
d.         TEE
Adanya pembesaran ventrikel kanan, gerakan paradoksal interatrial, gerakan paradoksal interventrikel. Melihat posisi yang berhubungan dengan jarak defek dengan dinding aorta, PA
e.          KATETERISASI
Kateterisasi ventrikel kanan, dengan pengukuran tekanan pada PA, RA, CO, PCWP, PARI, saturasi oksigen pada ruang-ruang jantung.


1.      PEMERIKSAAN PENUNJANG
a.          Thorax Foto
Adanya dilatasi arteri pulmoner disertai dengan menghilangnya corakan perifer (pruning) dan pada tahap lanjut dapat terlihat pembesaran atrium dan ventrikel kanan.
b.         EKG
        Deviasi aksis QRS ke kanan, hipertrofi ventrikel kanan (RVH) mild atau  RBBB dengan pola rsR di V1 dan dilatasi atrium kanan.
c.          Echocardiogram
Dari echo dua dimensi dilihat besar dan lokasi ASD. Dilihat signifikansi pirau left-to-right shunt termasuk pembesaran RA, RV dan penebalan PA. dari dopler dilihat karakteristik pola aliran dengan left-to-right shunt maksimal saat diastole. Dari echo M-mode memperlihatkan dimensi RV dan melihat tanda adanya overload volume RV.
d.         TEE
Adanya pembesaran ventrikel kanan, gerakan paradoksal interatrial, gerakan paradoksal interventrikel. Melihat posisi yang berhubungan dengan jarak defek dengan dinding aorta, PA
e.          KATETERISASI
Kateterisasi ventrikel kanan, dengan pengukuran tekanan pada PA, RA, CO, PCWP, PARI, saturasi oksigen pada ruang-ruang jantung.



a.        DIAGNOSA KEPERAWATAN
a.       Aktual / resti penurunan kardiac output berhubungan dengan gagal jantung kanan
b.      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan pembuluh darah paru.
c.       Gangguan pola nafas berhubungan dengan peningkatan aliran darah ke paru.
d.      Aktual/risiko tinggi gangguan perfusi jaringan yang berhubungan dengan menurunnya curah jantung.
e.       Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit berhubungan dengan penumpukan cairan di intertisial (oedem, asites).
f.       Intoleransi aktifitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan antar suplai oksigen ke jaringan dengan kebutuhan sekunder penurunan curah jantung
g.      Gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan penurunan cardiac output.
h.      Aktual/resiko tinggi terjadi gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan distensi abdomen, mual dan muntah.
i.        Aktual/risiko tinggi cedera yang berhubungan dengan pusing dan kelemahan.
j.        Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang informasi tentang proses penyakitnya.

2.7.2.5  Rencana / Intervensi Keperawatan
1.      Aktual / resti penurunan kardiac output berhubungan dengan gagal jantung kanan
Tujuan : dalam waktu 3 x 24 jam penurunan curah jantung dapat teratasi dab menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia terkontrol/hilang, dan bebas dari gejala gagal jantung)
Kriteria : klien dapat melaporkan penurunan periode dispnea, berperan dalam mengurangi beban kerja jantung (tekanan darah dalam batas normal, nadi tidak terjadi aritmia, capilary refill 3”, dan produksi urine > 30 ml/jam.
Intervensi :
·      Kaji dan laporkan tanda penurunan curah jantung
Rasional : dapat mempercepat penangan gagal jantung akut
·      Periksa keadaan klien dengan mengauskultasi nadi apikal
Rasional : terjadi takikardi meskipun pada saat istirahat untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas
·      Palpasi nadi perifer
Rasional : penurunan curah jantung menunjukkan menurunnya nadi (radialis, poplitea, dorsalis pedis dan postibial)
·      Pantau adanya keluaran urine
Rasional : ginjal berespon untuk menurunkan curah jantung dengan menahan cairan dan natrium
·      Istirahatkan klien dengan tirah baring optimal (kepala tempat tidur harus dinaikkan 20 – 30 cm atau klien didudukkan dikursi
Rasional : melalui imobilisasi kebutuhan pemompaan jantung diturunkan, pada posis kepala tempat tidur dinaikkan aliran balik vena ke jantung (preload) dan paru berkurang.
·      Kaji perubahan pada sensorik, contoh: letargi, cemas, dan depresi
Rasional : dapat menunjukkan tidak adekuatnya perfusi serebral sekunder terhadap penurunan curah jantung
·      Berikan oksigen tambahan dengan nasal kanul/masker sesuai dengan indikasi
Rasional : meningkatkan kesediaan oksigen untuk kebutuhan miokardium guna melawan efek hipoksia/iskemia
·      Hindari manuver dinamik (berjongkok)
Rasional : berjongkok meningkatkan aliran balik vena dan resistensi srteri sistemik secara simultan menyebabkan kenaikan volume sekuncup dan tekanan arteri
·      Kolaborasi untuk pemeberian diet jantung
Rasional : mengatur  diet sehingga kerja dan keteganggan otot jantung minimal dan status nutrisi terpelihara.

2.      Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan pembuluh darah paru.
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam tidak ada keluhan sesak atau terdapat penurunan respon sesak napas
Kriteria : secara subyektif klien menyatakan penurunan sesak napas, secara obyektif didapatkan TTV dalam batas normal, tidak ada penggunaan otot –otot bantu pernafasan, AGDA dalam batas normal
Intervensi :
·      Berikan tambahan O2 4 lt/mnt
Rasional : untuk meningkatkan konsentrasi O2 dalam proses pertukaran gas
·      Pantau saturasi (oksimetri)
Rasioanal : intuk mengetahui tingkat oksigenasi pada jaringan
·      Koreksi keseimbangan asam basa
Rasional : mencegah asidosis yang dapat memperberat fungsi pernapasan
·      Cegah atelektasis dengan melatih batuk efektif dan napas dalam
Rasional : kongesti yang berat akan memperburuk proses pertukaran gas
·      Kolaborasi dalam pemberian terapi (cairan,digoxin,diuretic)
Rasional : meningkatkan kontraktilitas otot jantung, mencegah retensi cairan.

3.      Gangguan pola napas berhubungan dengan peningkatan aliran darah ke paru
Tujuan : dalam waktu 3x24 jam tidak terjadi perubahan pola nafas
Kriteria : klien tidak sesak napas, RR dalam batas normal 16-20 x/mnt, respon batuk berkurang
Intervensi :
·         Auskultasi bunyi napas
Rasional : indikasi oedema paru akibat peningkatan aliran ke paru
·         Kaji adanya oedema
Rasional : curiga gagal jantung kongestif akibat adanya kelebihan volume cairan
·         Ukur intake dan output
Rasional : Penurunan curah jantung mengakibatkan gangguan perfusi ke ginjal, retensi natrium/air, dan penurunan keluaran urine

4.      Aktual/resiko tinggi gangguan perfusi perifer yang berhubungan dengan menurunnya curah jantung
Tujuan : dalam waktu 2x24 jam perfusi perifer meningkat
Kriteria : klien tidak mengeluh pusing, TTV dalam batas normal, CRT 3”, urine > 1-1.5cc/kgbb/jam
Intervensi :
·      Ukur Tekanan darah
Rasioanal : hipotensi dapat terjadi juga disfungsi ventrikel
·      Kaji warna kulit, suhu, sianosis, nadi perifer, dan diaphoresis secara teratur
Rasional : mengetahui derajat hipoksemia, dan peningkatan tahanan perifer
·      Kaji peristaltik usus
Rasional : mengetahui pengaruh hipoksia terhadap fungsi saluran cerna, serta dampak penurunan elektrolit
·      Kaji adanya kongesti hepar pada abdomen kanan atas
Rsional : sebagai dampak gagal jantung kanan, jika berat akan ditemukan adanya tanda kongesti
·      Pantau urine output
Rasioanal : penurunan curah jantung mengakibatkan menurunnya produksi urine
·      Catat adanya murmur, frekuensi jantung dan irama
Rasional : menunjukkan gangguan aliran darah dalam jantung, dan adanya disritmia
·      Berikan makanan kecil/mudah dikunyah
Rasioanal : makanan besar dapat meningkatkan kerja miokardium
·      Kolaborasi dalam pemasangan  alat invasive intravena
Rasional : jalur yang peten dan penting untuk pemberian obat darurat

5.      Intoleransi aktivitas yang berhubungan dengan ketidakseimbangan antara supplai oksigen ke jaringan dengan kebutuhan sekunder dari penurunan curah jantung
Tujuan      : aktivitas sehari – hari klien terpenuhi dan meningkatnya kemampuan beraktivitas
Kriteria     : klien menunjukkan kemampuan beraktivitas tanpa gejala – gejala yang berat, terutama mobilisasi di tempat tidur
Intervensi   :
·      Catat frekuensi jantung, irama, dan perubahan TD, selama dan sesudah aktivitas
Rasional : respons klien terhadap aktivitas dapat mengindikasikan adanya penurunan oksigen miokard
·      Tingkatkan istirahat, batasi aktivitas, dan berikan aktivitas senggang yang tidak berat
Rasional : menurunkan kerja miokard/ konsumsi oksigen
·      Anjurkan klien untuk menghindari peningkatan tekanan abdomen, misal mengejan saat BAB
Rasional : dengan mengejan dapat menyebabkan peningkatan syaraf parasimpatis sehingga terjadi bradikardi, menurunkan curah jantung
·      Jelaskan pola peningkatan bertahap dari tingkat aktivitas, contoh bangun dari kursi, bila tidak ada nyeri lakukan ambulasi, kemudian istirahat selama 1 jam
Rasional : aktivitas yang maju memberikan kontrol jantung, meningkatkan reganggan, dan mencegah aktivitas berlebihan
·      Pertahankan klien pada posisi tirah baring sementara sakit akut
Rasional : untuk mengurangi beban jantung
·      Pertahankan rentang gerak pasif selama sakit
Rasional : meningkatkan kontraksi otot sehingga membantu venous return
·      Evaluasi tanda vital saat kemajuan aktivitas terjadi
Rasional : untuk mengetahui fungsi jantung bila dikaitkan dengan aktivitas
·      Berikan waktu istirahat diantara waktu aktivitas
Rasional : untuk mendapatkan waktu cukup resolusi bagi tubuh dan tidak terlalu memaksa kerja jantung
·      Pertahankan penambahan O2 sesuai kebutuhan
Rasional : untuk meningkatkan oksigenasi jaringan
·      Selama akivitas kaji EKG, dispnea, sianosis, kerja dan frekuensi napas, serta keluhan subjektif
Rasional : melihat dampak aktivitas terhadap fungsi jantung
·      Berikan diet sesuai kebutuhan (pembatasan cairan)
Rasional : untuk mencegah retensi cairan dan edema akibat penurunan kontraktilitas jantung
  


Tidak ada komentar:

Posting Komentar